Senin, 30 Januari 2012

Masjid Raden Patahku, kader dakwah brawijaya mulai menurun



Kebangkitan islam di kampus sangat identik dengan perkembangan masjidnya. Kalau aktivisnya saja sudah jarang pergi ke masjid atau paling tidak jarang untuk berkumpul di masjid, maka dapat dipastikan bahwa kebangkitan kampus tersebut akan lama, atau kalau pernah mengalami kebangkitan, maka dipastikan dalam waktu dekat akan mengalami kemunduran. Ntah itu dari kemunduran moral atau atau kemuduran kader yang semakin lemah. Sebagai contohnya adalah brawijaya ketika aktivis dakwahnya menjadikan masjid sebagai tempat ”nongkrong” ikhwan untuk melakukan diskusi kecil-kecilan. Walaupun tidak jarang dari diskusi kecil-kecilan menjadi sebuah resolusi yang besar atau bahkan menjadi sebuah obat untuk mempererat ukhuwah diantara kader. Setelah menunaikan kewajiban shalat Duhur, seluruh kader berkumpul di masjid tersebut,
”Masih ada waktu satu jam yang bisa kita manfaatkan untuk berdiskusi”
Begitulah tutur salah seorang anggota kepada anggota lainnya ketika masjid benar-benar dimaksimalkan. Jadi waktu satu jam sangat menjadi perhiasan yang sangat mereka manfaatkan benar-benar. Namun itu cerita beberapa tahun yang lalu, yang saat ini sudah tidak kita lihat lagi. Yah kira-kira akhir tahun 2008 menjadi akhir semua, atau malah awal semua ini. Sekarang kader lebih memilih untuk memberikan sekat-sekat antara fakultas, sehingga satu brawijaya tidak saling kenal. Bahkan saat ini tidak jarang ada kader yang lebih memilih menghabiskan waktu satu jam, dua jam atau bahkan lebih di depan laptop atau HP untuk bermain dengan si biru -Red.facebook-, daripada menjalin ukhuwah dengan saudaranya.
Do’a Rabithah bermanfaat sebagai do’a pengikat, akan tetapi pengikat saja tidak cukup. Perlu usaha untuk mengikatnya. Tidak lantas hanya membaca doa itu, lalu duduk diam. Tidak terkadang juga diam ikhwah dalam bermain si biru dimanfaatkan untuk mengikat ukhuwah, namun tetap saja tidak sedikit yang tidak memanfaatkan itu. Lebih banyak bercanda di facebook yang dianggap sebagai strategi dakwah. Mungkin bercanda juga perlu, tapi ingat bercanda bisa melalaikan juga. Bahkan dapat menurunkan harga diri.
Bisa dikatakan kader dakwah brawijaya mulai menurun. Yang dibicarakan kebanyakan tentang politiknya, bukan lebih mengarah kepada dakwahnya, bukan mengarah kepada islamnya. Bahkan tidak sedikit kader yang merasa pintar dalam islam sehingga mati-matian mempertahankan doktrinnya, atau bahkan tidak mau kalah dengan pendapatnya. Padahal kalau disadari, bahwasanya ternyata kalau kita mempunyai satu masalah, lalu ditanyakan kepada 10 orang yang berbeda, maka akan menghasilkan jawaban yang berbeda pula. apalagi menanyakan kepada 10 harakah yang berbeda, pasti akan menemukan sebuah atau beberapa buah jawaban yang berbeda.
Banyak hal yang dibicarakan kader dakwah saat ini yang mereka anggap penting, tidak jarang ikhwan ataupun akhwat bahasannya nikah mulu. Padahal kalau dilihat lagi, apa yang sudah mereka berikan untuk dakwah? Namun apa yang sudah diberikan untuk dakwah, tidak lantas menjadi patokan untuk menikah pula, karena pada hakikatnya kita berdakwah tidak untuk menikah. Kalau bisa menikah di jalan dakwah, anggap itu sebagai bonus, bukan sebagai tujuan dari berdakwah.
Di dalam suatu kajian disebutkan bahwasanya orang yang merasa pintar, ternyata dia sendiri kurang pintar. Kebanyakan dari kader merasa cukup dengan membaca buku yang mereka miliki, atau bahkan merasa cukup dengan hafalannya, sehingga susah untuk ditambah, atau bahkan tidak bertambah-tambah. Padahal ustadz-ustadz yang sering mengisi di suatu kajian, mereka masih membaca, mereka masih terus belajar, bukan berarti mereka banyak mengisi tapi mereka tidak pernah diisi, kosong nantinya.

Wallahu ’Alam
Izzur Rozabi Mumtaz
Malang, 29 Januari 2012
10:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar